AS Menghendaki Papua Lepas Dari Indonesia

Monday, July 19, 2010

Sebagaimana diberitakan sejumlah media, beberapa waktu lalu 40 anggota Kongres AS mengirimkan sepucuk surat kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono. Surat bertanggal 29 Juli 2008 tersebut intinya adalah meminta Presiden SBY untuk membebaskan “segera dan tanpa syarat” dua orang aktivis sparatis Papua, yakni anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang bernama Filep Karma dan Yusak Pakage. Sebagaimana diketahui, keduanya telah mengibarkan Bendera Bintang Kejora di Abepura,
1 Desember 2004 lalu. Kemudian, pada Mei 2005, pengadilan menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara terhadap keduanya (Republika, 11/8/2008).
Kita tentu patut prihatin karena di Papua memang sedang terjadi upaya disintegrasi. Pangkal masalahnya adalah adanya pihak asing yang terus memanas-manasi, bahkan mendorong terjadinya kegiatan sparatis tersebut. Upaya disintegrasi ini memang telah dilakukan secara sistematis, dengan cara menginternasionalisasi isu Papua. Asing, terutama AS, sangat jelas telah merancang upaya pemisahan Papua ini dari wilayah Indonesia. Hal ini antara lain dibuktikan dengan beberapa fenomena berikut:
  1. Kehadiran Sekretaris Kedubes Amerika dan utusan Australia, Inggris dan negara asing lainnya dalam Kongres Papua pada tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2000 yang lalu. Dalam Kongres tersebut, mereka menggugat penyatuan Papua dalam NKRI yang dilakukan pemerintah Belanda, Indonesia dan PBB pada masa Soekarno. Menurut Kongres tersebut, “bangsa” Papua telah berdaulat sebagai bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. Selanjutnya Kongres meminta dukungan internasional untuk memerdekakan Papua (Kompas, 5/6/2000).
  2. Kasus penembakan yang terjadi di Mile 62-63 Jalan Timika–Tembagapura pada 31 Agustus 2002. Peristiwa tersebut merenggut 3 nyawa karyawan Freeport Indonesia, masing-masing 2 warga negara AS dan 1 WNI, serta melukai 11 orang, 1 di antaranya anak-anak. Kasus ini terus diangkat oleh AS ke dunia internasional. Bahkan FBI dan CIA berdatangan ke Papua untuk mengusut peristiwa tersebut. Sejak saat itu, persoalan Papua berhasil diangkat oleh AS menjadi perhatian negara-negara di dunia maupun masyarakat internasional sebagai kasus pelanggaran HAM.
  3. Kongres AS membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) 2601 yang memuat masalah Papua di Amerika pada bulan Juli 2005, yang akhirnya disetujui oleh Kongres AS. RUU tersebut menyebutkan adanya kewajiban Menteri Luar Negeri AS untuk melaporkan kepada Kongres tentang efektivitas otonomi khusus dan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
  4. Akhir 2005, Kongres AS mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) dengan Indonesia. Padahal sejarah mencatat, bahwa pendukung utama integrasi tersebut adalah Amerika sendiri, dimana persoalan Indonesia dianggap sebagai bagian dari masalah AS.
  5. Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar (22/3/2006), menduga ada upaya LSM yang didanai asing hingga terjadi kerusuhan di Abepura. Wakil dari LSM saat berbicara bersama seorang anggota Komisi I DPR-RI—dalam dialog di salah satu stasiun TV nasional (22/3/2006)—tidak secara tegas menolak hal itu. Ternyata, hingga saat ini pun, ada upaya sistematis untuk mengadu-domba antarumat beragama di Papua, antara kelompok Muslim dengan Muslim di satu sisi, dan Muslim dengan non-Muslim di sisi lain. Tulisan International Crisis Group (ICG), yang dirilis Juni 2008 lalu jelas mengisyaratkan hal ini.
  6. Pemberian visa sementara bagi pencari suaka pada 42 aktivis pro-kemerdekaan Papua oleh Australia. Menteri Imigrasi Australia (23/3/2006) Amanda Vanston mengatakan, “Ini didasarkan pada bukti yang disampaikan oleh individu sendiri serta laporan dari pihak ketiga.” Siapa yang dimaksud pihak ketiga, itu tidak pernah dijelaskan. Namun, umumnya pihak ketiga itu adalah NGO atau LSM yang didanai oleh asing. Pemberian suaka ini juga merupakan hal penting, sebab terkait dengan upaya kemerdekaan Papua melalui proses internasionalisasi.
  7. Anggota Kongres AS, Eny Faleomavaega, kembali melakukan kunjungan ke Indonesia pada 28/11/2007. Secara khusus Eny melakukan kunjungan ke sejumlah wilayah Papua seperti Biak dan Manokwari. Alasan yang disampaikan oleh Eny adalah melihat langsung kondisi Papua setelah enam tahun otonomi khusus (otsus). Jika kita menelaah rangkaian kunjungan dan aktivitasnya selama ini, kedatangan Eny Faleomavaega ke Papua sebenarnya semakin mengokohkan opininya, bahwa Papua memang layak untuk merdeka.
  8. Pada 16 Juni 2008, ICG mengeluarkan laporan “Indonesia: Communal Tensions in Papua”. Di sana ditulis, “Konflik Muslim dengan Kristen di Papua dapat meningkat jika tidak dikelola dengan baik. Kaum Kristen merasa ‘diserang’ oleh kaum migrasi Muslim dari luar Papua. Mereka merasa Pemerintah mendukung aktivitas Islam untuk mengekpansi minoritas non-Muslim. Kaum Muslim pindahan itu memandang demokrasi dapat diarahkan menjadi tirani mayoritas sehingga posisi mereka di sana terancam”. Laporan ini lebih merupakan propaganda dan upaya adu domba.
  9. Sementara itu, surat tertanggal 29 Juli 2008 dari 40 anggota Kongres AS yang mereka kirim kepada Presiden SBY, dalam alinea terakhirnya manyatakan, ”We urge you to take action to ensure the immediate and unconditional release of Mr. Karma and Mr. Pakage. Any security officials who mistreated Mr. Karma or who may have employed inappropriate force against peaceful demonstrators should be prosecuted. Such steps would be an important indicator that Indonesia, as a member of the UN Human Rights Council, takes its international obligations to fully respect universally recognized human rights.” (Kami mendesak Anda untuk membebaskan segera dan tanpa syarat Mr. Karma dan Mr. Pakage. Siapapun aparat keamanan yang memperlakukan Mr. Karma dengan buruk atau mungkin melakukan kekerasan terhadap para pendemo yang melakukan aksi damai, maka aparat tersebut harus dihukum. Tindakan semacam itu merupakan indikator penting, bahwa Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, telah melakukan kewajiban internasionalnya untuk benar-benar menghormati HAM yang telah diakui secara universal).

Surat tersebut ternyata dimuat dan dipuji-puji dalam situs resmi The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN). ETAN adalah LSM internasional asal AS yang berpengalaman menjadi salah satu arsitek lepasnya Timor Timur dari Indonesia.
Surat anggota Kongres AS ini jelas semakin membuktikan adanya intervensi terhadap Pemerintah Indonesia, sekaligus membuktikan bahwa AS mendukung upaya disintegrasi tersebut.