Australia Memang Dukung Papua Pisah dari NKRI

Monday, July 19, 2010

29-March-2006

Jakarta-RoL—Intelijen Australia turut “mengobok-obok Indonesia” dan pemberian visa tinggal sementara bagi 42 dari 43 pencari suaka asal Provinsi Papua merupakan bagian dari upaya dan rencana Pemerintah Federal Australia mendukung pemisahan Papua dari NKRI, kata Pengamat Intelijen Dr.AC.Manullang.

Apa yang dilakukan Pemerintahan PM John Howard saat ini sebenarnya hanya menegaskan kembali sikap asli Australia yang tidak mendukung upaya NKRI mengembalikan Papua Barat (Irian Jaya) dari tangan Penjajah Belanda tahun 1960-an, katanya di Jakarta, Selasa.

"Indonesia tidak pernah mengetahui bahwa dulu Australia itu tidak suka dengan perjuangan kita tahun 1960-an di Papua (Barat). Australia dalam konteks (kasus pemberian visa bagi pencari suaka politik) ini benar-benar telah mengobok-obok Indonesia. Australia menginginkan Papua merdeka. Cara ini cenderung mirip dengan upayanya memerdekakan Timor Timur,” kata Manullang.

Dengan memberikan visa tinggal sementara itu, Australia, lanjut Manullang, ingin membentuk opini dunia bahwa warganegara Indonesia di Papua tidak mendapatkan “kenyamanan dan keamanan di negerinya” akibat adanya tekanan pemerintah melalui aparat keamanan yang telah melanggar hak azasi manusia berat.

“Australia dalam soal ini mengacu pada pembentukan opini masyarakat dunia bahwa telah terjadi penyeberangan orang-orang Indonesia ke Australia. Laporan intelijen menunjukkan orang-orang Indonesia, dalam hal ini orang-orang Papua, telah lama direkrut oleh intelijen asing, termasuk `Overseas National Assessment (ONA)` Australia, untuk mengobok-obok Indonesia,” katanya.

Aksi orang-orang Indonesia di Papua itu dibuat dan dilatih sebagai pihak yang dikejar-kejar TNI dan Polri. Setiap orang yang mendapat suaka politik dari Pemerintah Australia harus mengatakan bahwa mereka dikejar-kejar TNI dan Polri, katanya.

Terlebih lagi sesudah insiden di depan Kampus Universitas Cenderawasih Abepura yang menewaskan lima aparat keamanan Indonesia itu, orang-orang Indonesia asal Papua yang direkrut Australia sebaga tenaga ONA harus menyatakan dalam wawancara mereka dengan media negara itu bahwa “orang-orang Papua telah banyak berlarian ke hutan-hutan karena dikejar aparat keamanan Indonesia”, katanya.

“Satu orang yang ditolak permohonan suaka politiknya itu bisa jadi adalah orang intelijen yang disusupkan pihak Australia. Informasi lain menyatakan bahwa penyiapan kapal untuk mengangkut mereka (43 warga Papua) adalah bagian integral dari upaya intelijen Australia menciptakan opini bahwa tidak ada kenyamanan dan kemanan di Papua,” kata Manullang.

“Kebodohan kita dalam soal ini adalah adanya sejumlah besar tokoh politik yang mendesakkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia, padahal adanya pemutusan hubungan itu justru merupakan sasaran intelijen Australia. Mereka menginginkan hal itu sendiri terjadi,” katanya.

Kalau hubungan kedua negara putus akibat kasus pemberian suaka politik ini, imej Indonesia akan memburuk dan menjadikan isu Papua mendapat perhatian internasional, katanya.
Menurut Manullang, Pemerintah Indonesia tidak mempunyai cara lain kecuali harus mencari sumber gerakan separatis guna menghentikan upaya Australia “mengobok-obok” Indonesia dengan memisahkan Papua.

“Dalam kasus Papua ini, Australia hanyalah perpanjangan tangan Amerika saja. Jadi bagi Australia, apa yang terjadi dan apapun yang akan terjadi, ia tidak akan kehilangan apa-apa. Putusnya hubungan diplomatik Indonesia-Australia merupakan sasaran utama (target) negara sponsor Papua merdeka, yakni Amerika Serikat,” katanya.

Untuk itu, Indonesia harus mengadakan pendekatan pro-aktif kepada Amerika Serikat yang sudah sejak lama ingin menguasai Papua dengan kekayaan sumberdaya alamnya itu, kata Manullang.

Dalam kasus Papua, Pemerintah Federal Australia, seperti yang berulang kali disampaikan Menlu Alexander Downer dan Dubesnya di Indonesia, Bill Farmer, berjanji tidak akan mendukung gerakan separatis dan mengakui Papua Barat sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Keputusan Canberra yang memberikan visa tinggal sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua itu mengundang reaksi beragam di masyarakat Indonesia. Gelombang demonstrasi yang melibatkan ratusan orang antara lain terjadi di depan Kedubes Australia di Jakarta, dan Jawa Timur.

Jakarta pun telah meminta Dubes RI untuk Australia dan Vanuatu agar tidak mengisi posnya di Canberra kendati seorang jurubicara kepresidenan RI telah menegaskan bahwa Jakarta tidak akan memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Canberra.

Dalam kasus penentuan pendapat di Timtim tahun 1999, Australia dianggap rakyat Indonesia sebagai pihak yang paling “getol” membantu terwujudnya pemisahan itu. Setelah Timor Leste merdeka, Canberra dan Dili melanjutkan kerjasama pengelolaan minyak di Celah Timor yang sebelumnya dilakukannya dengan Jakarta ketika Timtim masih merupakan provinsi ke-27 NKRI. antara/pur.

Sumber: Republika Online, 28 Maret 2006